Rabu, 14 Mei 2014

Di Sudut Hati Terselip Namamu

Di Sudut Hati Terselip Namamu Pagi ini mentari tak begitu melihatkan sinarnya, awan tebal pun berkumpulan. Sesekali aku menengadah dan kulihat segerombolan burung berterbangan, lalu ku menundukkan kepalaku, ku lihat tanah masih basah dan tercium aroma aspal, karena sepanjang malam tadi hujan turun dengan derasnya. Aku berjalan menuju halte sekitaran kampusku dan aku membawa dua tas, satu tas ransel di punggungku dan satu tas lagi ku genggam erat dengan tangan kiriku. Tangan kananku memegang handphone dan jemariku terus membalas pesan yang kuterima dari kakak senior ku disalah satu organisasi kampus ku. Organisasi itu bernama Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Kerena pagi ini kami akan mengadakan suatu agenda latihan kepemimpinan tingkat I di Pantai Pesona dan kami akan menginap semalam disana. Ada beberapa teman satu organisasiku yang juga mengirimkan pesan singkatnya, pesan yang mereka kirim intinya sama, menanyakan aku sedang dimana, “sudah dimana ukh? Cepat datang ditunggu 10 menit lagi.” Ukh itu suku kata pertama dari kata ‘ukhti’. Ya, ukhti adalah sapaan akrab khusus perempuan di organisasi itu. Namaku Kara. Sapaan akrab teman-teman kampus untukku ‘Aya’. Teman-teman ku bilang aku ini cuek dan pemalu. Aku masih terus mempercepat langkahku, sesekali ku melihat layar handphone ku dan muncul lagi satu pesan dari teman sekelas ku yang juga satu organisasi dengan ku, namanya Alif. Aku menarik napas panjang lagi-lagi aku menerima pesan yang intinya sama “Aya dimana? buruan datang.” Alif adalah satu-satunya teman organisasiku yang tidak memanggilku dengan sebutan ‘ukhti’. Aku membalas pesan Alif dengan satu kata “iya”. Pandangan ku beralih ke jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 10.10 WIB, aku telat 10 menit dan aku masih harus menempuh 20 meter lagi. Akhirnya aku sampai di halte dan aku langsung menuju bus untuk meletakkan barang-barang ku ke dalam bagasi bus. Tiba-tiba salah satu kakak senior ku yang menjabat sebagai Ketua LDK mengahampiriku. Medi namanya, panggilan akrabnya Kak Med. “Kamu baru datang?” Tanya Kak Med padaku. “Iya kak, maaf kak saya telat.” Jawabku dengan nada pelan. “Lain laki lebih disiplin ya, jangan sampai telat lagi untuk agenda-agenda selanjutnya.” Kata Kak Med menasehati. “iya kak, siap!” Jawabku agak bersemangat. Kak Med pun langsung pergi dan masuk kedalam bus. Aku masih berada diluar bus dan melanjutkan memasukkan tas ku ke bagasi sembari menarik napas panjang dan mengatakan dalam hati “Alhamdulillah akhirnya aku tidak dapat sanksi.” Terlintas senyum diwajahku dan aku pun bergegas masuk kedalam bus. Kulihat satu persatu kursi sudah terisi dan tersisa satu kursi disamping Alif dan tepat posisinya di depan Kak Med. “Aya…duduk sini samping aku.” Alif memanggilku. Alif memang sengaja menyisakan satu kursi untukku dan dia adalah teman kampusku yang paling akrab denganku. Alif bisa dibilang anak yang tomboi dan ceria. Karena itu, aku senang berada didekat Alif. Aku bergegas duduk didekat Alif. “Aya…kok lama sih datangnya?” Tanya Alif. “Aku tadi masih mencuci baju Lif, jadi terlambat datang deh.” Jawabku. “Cie…rajin banget sih Aya.” Timpal Alif. “Yaiyalah Aya gitu loh, hehe.” Sambungku sembari tertawa. Tanpa kusadari bus yang kami naiki hampir sampai di Pantai Pesona, sesekali aku melihat ke belakang, Kak Med sedang membaca mushaf Al-Qur’annya. Kak Med memang seorang hafidz Qur’an. Oleh karena itu, ia selalu menyempatkan untuk mengulang hafalannya. Hampir semua akhwat di organisasi tersebut mengaguminya, termasuk aku. Dan ku lihat satu buku diatas tasnya dengan judul ’Di Jalan Dakwah Aku Menikah’. “Jangan-jangan Kak Med sebentar lagi mau menikah.” Pikirku. Lalu ku memalingkan wajahku ke kaca bus dan kulihat hamparan pantai. Ternyata kami sudah sampai di Pantai Pesona. Ku lihat ekspresi wajah temanku satu persatu tampak mereka sudah tidak sabar untuk turun dari bus, tapi aku masih memikirkan hal yang sama sekali mungkin tidak penting yaitu tentang buku yang Kak Med bawa dan aku berusaha mengabaikannya. Akhirnya supir bus pun memarkirkan busnya tepat di samping warung makan, dan kami pun turun satu persatu. Saat aku akan turun aku melihat Kak Med sedang sibuk membereskan barang bawaannya. Selang berarapa menit kami selesai meletakkan dan membereskan barang di sebuah villa di sekitar pantai. Dan suara Kak Med pun terdengar, ia memerintahkan kami untuk segera berkumpul. Aku dan Alif pun berlari ke lokasi tempat berkumpul. Dengan napas yang masih putus-putus aku berbaris dibarisan paling belakang. Kak Med pun menyampaikan susunan agenda yang akan kami lakukan selama di Pantai Pesona dan para peserta latihan kepemimpinan dipecah menjadi empat kelompok masing-masing dua kelompok akhwat dan dua kelompok ikhwan. Aku senang sekali karena satu kelompok sama Alif, kami masuk dalam kelompok yang bernama Aisyah. Dan kak Med menunjuk ketua kelompok dan betapa terkejutnya aku ketika Kak Med menyebut namaku sebagai ketua dikelompok Aisyah. “Kelompok Aisyah diketuai oleh Kara. Mana nih yang namanya Kara?” Tanya Kak Med sembari memegang absensi. Aku pun mengacungkan tangan sambil berkata “hah? Saya ketua kak? Yang lain aja deh kak.” “Tidak kamu tetap ketua, kamu pasti bisa Kara.” Kata Kak Med menyemangati. “Baiklah kak.” Jawabku dengan nada pelan. Selesai berkumpul kami sholat zhuhur berjama’ah dan setelah itu kami membentuk lingkaran untuk makan siang bersama. Tapi, aku tak melihat Kak Med dalam lingkaran itu. Aku pun memberanikan diri bertanya ke Alif. “Lif, Kak Med mana?” Tanyaku pada Alif. “Masih di musholla mungkin, cie Aya nyariin Kak Med.” Timpal Alif pada ku. “Duh….apaan sih Lif.” Jawabku malu. Alif memang mengetahui kalau aku menyukai Kak Med sejak awal aku bergabung di LDK. Tapi aku heran sama Alif kenapa ia tidak tertarik dengan Kak Med padahal hampir semua akhwat dikampus menyukainya. Aku pernah menanyakan hal ini ke Alif tapi Alif hanya tersenyum setiap kali aku menyakan hal ini. Makan siang bersama pun selesai, Kak Med tak kunjung muncul dihadapan kami. Aku permisi dengan kakak senior ku yang lain untuk mencuci tanganku di toilet musholla. Sebelum mencuci tangan, aku melihat ke dalam musholla ternyata benar kata Alif, aku melihat Kak Med duduk di sudut musholla sambil membaca mushafnya. Hatiku bergetar, jantungku berdetak, ketika mendengar suaranya mengaji, aku berusaha mensugestikan diri untuk biasa saja setiap bertemu dengan Kak Med dengan berkata dalam hati “luruskan niat Aya.” Kalimat itu cukup membantuku, karena aku tak ingin Kak Med tahu bahwa aku mengaguminya. Aku pun terus berjalan ke toilet musholla untuk mencuci tangan ku. Ketika aku sedang mencucui tangan, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan suara Kak Med yang memakai pengeras suara, ia memerintahkan kami untuk segera berkumpul karena agenda pertama akan dimulai. Aku pun segera pergi ke lokasi tempat kami berkumpul. Agenda pertama ialah kami harus menciptakan yel-yel masing-masing kelompok dan harus menyiapkan penampilan yang akan ditampilkan pada malam keakraban nanti malam. Panitia memberikan kami waktu 60 menit untuk latihan dan menyiapkan yel-yel. Aku dan Alif pun bergegas berkumpul bersama teman-teman kelompok ku yaitu kelompok Aisyah. Kami membentuk lingkaran di bawah pohon dengan beralaskan pasir pantai untuk menyatukan ide kami. Tidak lama kemudian, kami sepakat bahwa yel-yel yang akan kami tampilkan bertema dakwah dengan backsound lagu Bruno Mars ‘Grenade’ dan kami sepakat kami akan menampilkan nasyid yang diiringi oleh gitar dan Alif sebagai gitarisnya. Selain itu, kami juga akan menampilkan musikalisasi puisi dan aku yang akan membacakan puisi yang berjudul ‘Dalam Rentang Sajadah’ pada malam keakraban nanti. Tepat pukul 14.00 kami pun berkumpul di posko LDK Ar-Rahman di sekitar pantai karena kami akan mendengarkan tausiah dari salah seorang ustadz yakni ustadz Hafizh. Ustadz Hafizh adalah salah satu ustadz terkenal di daerah kami, beliau baru saja menyelesaikan study S2 nya di Al-Azhar Kairo, Mesir. Tausiah yang ustadz sampaikan yaitu tentang interaksi perempuan dan laki-laki menurut Al-Qur’an. Ini menarik, kata ku. Lalu ustadz menyampaikan agar laki-laki menahan pandangannya dari perempuann dan perempuan dilarang berbicara dengan nada yang mendayu-dayu karena itu dapat menarik perhatian laki-laki, dan apabila berinterakksi dengan laki-laki dianjurkan ntuk berinteraksi pada hal-hal yang dianggap perlu, dan kami pun disarankan untuk menjaga hati kami agar tidak dirasuki VMJ. VMJ ini adalah akronim dari Virus Merah Jambu. Materi yang ustadz berikan sangat menarik dan kami sangat antusias mendegarkannya, ada beberapa pertanyaan yang kami ajukan sehingga suasana kala itu menjadi semakin seru. Tepat pukul 15.15 kami pun bersiap-siap untuk mengadakan sholat ashar berjama’ah, dan sholat ashar kali ini di imami oleh Kak Med. Ya Robbi, betapa bergetar hatiku ketika mengdengarkan Kak Med melantunkan ayat-ayat Sang Ilahi. Selesai sholat kami tilawah bersama yang dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok akhwat dan kelompok ikhwan dan diantara keduanya di batasi oleh hijab pembatas. Setelah itu, kami bersama-sama menyusuri pantai untuk melakukan tadabbur alam, aku dan Alif berjalan tepat dibelakang kak Med. Sepanjang perjalanan kami menengarkan cerita Kak Med tentang keindahan alam. Senja saat itu menjadi saksi kebersamaan kami kala sore itu, indahnya… Malam keakraban pun tiba, masing-masing kelompok menampilkan yel-yel dan bakat seninya. Aku dan kelompok ku di beri kesempatan untuk tampil yang pertama, kami pun menampilkannya dengan semaksimal mungkin. Usai tampil kami mendapat apresiasi dari teman-teman yang di bungkus dengan berbagai pujian. Tiba-tiba kak Med menghampiri aku dan Alif, “Selamat ya performance yang bagus! Gitarisnya nya jago sekali, bisa dong kapan-kapan kakak belajar.” Betapa terkejutnya aku, ku pikir ia akan melempar pujian untukku tapi kak Med malah memuji Alif. Lagi-lagi aku ke GR-an. Alif pun menaggapi pujian kak Med, “Terimakasih kak, ini karena kekompakan kami sehingga kami bisa tampil memuaskan.” Jawab Alif. “iya sama-sama, terus kembangkan bakatmu.” Kata Kak Med. Alif pun terseyum. Lalu kak Med pergi ke meja panitia. Aku hanya bisa terdiam. Lalu Alif berkata, “Aya kok diam aja sih tadi?” “Oh nggak kok nggak apa-apa.” Jawabku. “Ternyata Kak Med itu seru ya, orangnya tidak sombong, wajar banyak yang mengaguminya.” Kata Alif. “Iya Lif benar Kak Med itu seru orangnya meskipun aku jarang berinteraksi dengannya, tapi kalau boleh jujur sungguh aku tidak nyaman menjadi seorang secret admirernya karena banyak sekali yang mengaguminya, kenapa Lif? Kamu suka juga sama kak Med? Jangan-jangan kamu juga secret admirernya.” Tanyaku pada Alif. Alif hanya tersenyum dan ia mengalihkan topik pembicaraan dengan mengatakan “Aya kita kesana aja yuk api unggun nya sebentar lagi nyala.” Kata Alif sambil menarik tanganku. Aku pun mengikuti Alif ke lokasi api unggun, disana sudah berkumpuk kakak-kakak panitia termasuk Kak Med dan teman-teman yang lainnya. Saat inilah malam keakraban mencapai puncaknya, kami bersama dalam satu lingkaran menyaksikan deburan ombak ketepian, berlomba dengan angin siapa yang sampai duluan, lengkap dengan unggunan api yang menjadi penawar malam yang kelam ini, sebait puisi bertahta keindahan diksi, bersama pula rima dan bunyi, pantai pesona dan segala spesies yang ada disini jadi saksi, betapa puisi pujian Ilahi malam ini memang manambah indahnya malam. Ditambah lagi mendengarkan syiroh nabi, lelah letih yang menyelimuti diri terasa enyah begitu saja dan lari bersama angin malam kala ini. Ketika menengadah ke atas ribuan gugusan bintang turut menjadi saksi pesona malam ini. Ribuan gugusan bintang menyaksikan kami telah berikrar, meletakkan cita-cita sama tinggi dengan letak mereka semua. Cita-cita 'hijrah' berubah menjadi manusia menjadi hamba yang lebih baik. Ah…indahya. Malam pun semakin kelam, kami sama-sama bermuhasabah diri, sama-sama berjanji untuk mensyiarkan dakwah. Sungguh malam ini hatiku benar-benar damai, sadar ku akan kekurangan diri betapa banyak niat yang berbelok ketika melakukan sesuatu, yang seharusnya lurus dan hanya mengaharap ridho Ilahi Rabbi. Betapa banyak waktu tersita hanya untuk menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi, tanpa sedikit pun meluangkan waktu untuk membaca surat cintanya Sang Ilahi, bahkan untuk sekedar menjatuhkan kening ke sajadah pun aku lalai. Air mata ku pun jatuh bahkan tidak hanya aku saja semua teman-teman ku dan kakak-kakak panitia turut larut dalam malam yang damai ini. Kami memejamkan mata dan berdo’a bersama. Dalam do’a khusus ku, ku selipkan nama Kak Med agar kami bersama hingga ke Jannah. Agar kami sama-sama menjaga hati. Sungguh tak bisa ku pungkiri bahwa Kak Med selalu menjadi topik utama dalam setiap interaksi indahku bersama-Nya. Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kami sama-sama membuka mata, dan kali ini aku benar-benar tidak memberikan kesempatan pada kedua kelopak mataku untuk melihat Kak Med, aku menunduk dan lagi-lagi aku terbayang akan buku yang Kak Med bawa, hal itu sangat mengganggu pikiranku. Sesesak inikah menjadi seorang secret admirer? Tanyaku pada diri ini sembari menarik napas panjang, dan tepat unggunan api padam kami pun pulang ke villa masing-masing untuk beristirahat karena esok pagi-pagi sekali kami akan pulang ke rumah. Keesokan harinya, tepat pukul 03.00 dini hari kami bangun dari tidur dan sama-sama melaksanakan serangkaian ibadah di sepertiga malam, selesai sholat malam kami mendengarkan kultum yang disampaikan oleh Fahmi. Fahmi adalah salah satu peserta ikhwan yang ikut dalam pelatihan kepemimpinan tersebut. Usai mendengarkan kultum kami pun melaksanakan sholat shubuh berjama’ah. Pukul 05.30 kami berkumpul dipinggir pantai untuk sama-sama menyaksikan matahari terbit sambil melakukan olahraga ringan bersama. Tak terasa serangkaian agenda telah kami lalui, dan tibalah waktunya kami pulang. Pukul 08.00 kami pun pulang menaiki bus. Didalam bus aku dan Alif duduk dibelakang Kak Med, ku lihat Kak Med sedang serius membaca buku yang ia bawa, buku yang berjudul ’Di Jalan Dakwah Aku Menikah’ rasa ingin tahu ku kian membesar, sehingga aku memberanikan diri bertanya ‘’Lagi baca buku apa Kak?” Tanyaku pada Kak Med. ’’Oh baca buku ini (sambil menunjukkak cover buku yang ia pegang).” Jawab Kak Med. “Memangnya Kak Med sudah mau menikah ya?” Timpal Alif. “Iya insyaAllah tiga bulan lagi kakak akan menikah menunaikan separuh agama, tepatnya selesai kakak wisuda.” Jawab Kak Med. Aku dan Alif terkejut mendengar jawaban Kak Med. Aku hanya bisa terdiam dan Alif masih penasaran. “Kakak serius?” Tanya Alif ingin tahu. “Iya, serius nanti anak-anak LDK kakak undang semua kok.” Jawab Kak Med. Aku hanya bisa menarik napas panjang, aku seperti dilempar batu besar, tetapi aku penasaran kenapa Alif ingin tahu tentang Kak Med juga padahal yang ku tahu selama ini Alif sangat tidak mau tahu tentang Kak Med bahkan tiap kali Kak Med menjadi topik pembicaraanku dengan Alif, Alif sering kali mengalihkan pembicaraan, ia seperti tidak mau mendengarkan aku ketika bercerita tentang Kak Med. Tanda tanya besar pun muncul, apakah Alif juga mencintai Kak Med? Tidak lama kemudian kami sampai dikampus, dan Alif langsung turun dari bus tanpa menunggu aku yang sedang membereskan barang bawaanku. Lalu aku pun bergergas turun dan menghampiri Alif, tampak wajah Alif ketika itu sangat lesuh, matanya pun memerah, aku memberanikan diri untuk bertanya, “kamu kenapa Lif?” Tanyaku pada Alif. “Aku baik-baik saja Aya, aku pulang duluan ya ibuku sudah menuggu dirumah.” Jawab Alif. “Oh…iya hati-hati ya Lif” sambungku. Alif langsung pulang tanpa memperdulikan perhatianku padanya, aku semakin bingung ada apa dengn Alif sebenarnya. Sesampainya aku dirumah, aku masih penasaran dengan yang terjadi pada Alif, kenapa Alif tiba-tiba berubah. Aku pun langsung menyalakan laptop ku dan mengaktifkan akun twitter ku karena Alif kerap sekali curhat di akun twitternya. Betapa terkejutnya aku ketika menlihat home di twitter ku ada status Kak Med “Banyak sekali hikmah dari buku ini semoga kau adalah jodoh dunia dan akhiratku wahai ukhti.” Hatiku perih, dan lebih perih lagi ketika rentetan status Alif pun muncul. “Kamu hadir tiba-tiba, tanpa aba-aba kemudian pergi tanpa mengucap apa-apa.’’ Disusul dengan status berikutnya selang beberapa detik, ‘’Paling tidak beri aku pemberitahuan supaya ku tahu hatimu telah pindah haluan. Paling tidak beri aku tamparan supaya aku tahu bahwa kita sudah tak lagi miliki harapan.” Dua status ini cukup bagiku sebagai bukti bahwa Alif menyimpan perasaan kepada Kak Med dan aku simpulkan bahwa mereka sudah lama dekat, tetapi Kak Med mencintai akhwat lain yang ternyata adalah seorang wakil ketua BEM dikampusku, Kak Lutfiyyah namanya, kami memanggilnya Kak Upi. Aku kecewa kenapa Alif tidak pernah menceritakan semua ini dengan ku, jika aku tau bahwa Alif juga mencintai Kak Med mungkin aku bisa menahan perasaan ku pada Kak Med demi sahabat ku, tapi semuanya sudah terlanjur, akupun mencintai Kak Med terlalu dalam bahkan namanya sudah menempati sudut hati ini. Aku pun menberanikan diri mengirimkan pesan singkat ke Alif, “Lif kenapa kamu gak pernah cerita kalau kamu juga mencintai Kak Med? Mungkin inilah jawaban dari pengabaianmu setiap kali aku bercerita tentang Kak Med, ternyata kamu menyimpan persaan yang sama.’’ Alif pun membalas pesan singkatku, “Maafkan aku Aya, maafkan aku…” Hari ini adalah saksi dari ratusan hari perjalanan hati menginginkanmu jadi penghuni, semesta seakan memberikan firasat disaat aku ingin menjadi satu-satunya titik yang kau pandang lekat-lekat, kenyataan menjawabnya dengan pahit yang teramat pekat. Lalu, ketika kini aku telanjur cinta, rasa ini harus ku bawa kemana? Sementara ke hatimu saja tak ku temukan jalannya. Semoga di suatu hari yang entah, kamu akan tahu bahwa aku pernah sebegitunya ingin untuk diinginkan. Semoga disuatu hari yang entah, kamu akan tahu bahwa aku pernah sebegitunya ingin untuk terlihat. Meski kamu memilih jalan yang tak pernah melewati pintu hatiku, ingatlah bahwa itu tak berarti aku tak menunggumu di balik pintu. Bisa jadi disuatu hari yang entah, kamu tersesat kemudian berteduh di berandaku. Tetapi, bisa juga tidak. Entah siapa yang semestinya ku salahkan, ekspektasi yang ketinggian, atau semesta yang terlalu lambat untuk menyadarkan. Barangkali, begitulah resiko jatuh cinta. Betapapun sudah berhati-hati, selalu saja ada jalannya jika memang harus terjadi. Sementara hati sebetulnya sudah lelah terjatuh sendirian, tapi Tuhan mendatangkan kamu di hadapan. Kali ini entah sebagai jawaban, entah sebagai penambah pertanyaan, entah sebagai pemberi pelajaran. Jadi mau dibawa kemana hatiku yang ada dalam genggammu itu? Haruskah aku menujumu, perjuangkan kamu lebih jauh? Atau kembali saja pada titik mula, cukup jadi pendamba? Aku menarik napas panjang, memejamkan mata dan melihat ke dalam diri, sambil berkata dalam hati maaf kan aku yang telah berani mencintaimu, dan izinkan aku menyelipkan namamu di sudut hati ini. Dan aku sadar bahwa cinta tak mampu dipaksakan. Inginnya kamu ada dua, satu untukku, satu untuknya. Tapi ku tahu, cerita ini tak mungkin tertulis begitu. Cerita ini menawarkan bahagia yang sama untuk kita semua. Tapi sayangnya, bukan dari masing-masing kita. Dan aku harap hubungan aku dengan Alif baik-baik saja, Dan aku juga berharap agar semesta mengetuk perlahan kedua kelopak mata kami, lalu menyadarkan kami dari mimpi yang ketinggian. ********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar